Pada tahun ini, saat mobil Maung dari PT Pindad tampil
sebagai kendaraan dinas Presiden Prabowo, klaim mengenai 70% komponen lokal
yang digunakan dalam produksinya menarik perhatian banyak pihak. Dalam konteks
perkembangan industri otomotif Indonesia, klaim ini jelas menjadi isu yang
menantang sekaligus membanggakan. Banyak yang melihatnya sebagai langkah besar
menuju kemandirian dalam teknologi otomotif, namun di sisi lain, pertanyaan
besar pun muncul: Apakah 70% komponen lokal ini benar-benar merepresentasikan
kemandirian teknologi? Apakah komponen-komponen vital seperti mesin, transmisi,
dan sistem elektronik sudah sepenuhnya diproduksi di dalam negeri, atau justru
masih mengandalkan impor dari negara lain?
Untuk memahami klaim ini lebih dalam, kita perlu melihat
lebih jauh dari sekadar angka 70% yang disebutkan. Karena, dalam industri
otomotif, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia, komponen-komponen
inti kendaraan seperti mesin, transmisi, dan sistem elektronik adalah elemen
yang sering kali masih sangat bergantung pada impor. Lalu, apakah PT Pindad
telah berhasil mencapai kemandirian pada komponen inti ini? Atau apakah kita
hanya berbicara tentang komponen sekunder seperti bodi atau interior yang lebih
mudah diproduksi lokal?
Local Content
dalam Industri Otomotif: Antara Harapan dan Kenyataan
Di dunia otomotif, istilah local content atau
kandungan lokal mengacu pada sejauh mana komponen kendaraan diproduksi di dalam
negeri. Meskipun banyak komponen sekunder seperti bodi, dashboard, dan interior
mobil bisa dengan mudah diproduksi secara lokal, tantangan terbesar terletak
pada komponen inti kendaraan, seperti mesin, transmisi, dan sistem elektronik.
Komponen-komponen ini memerlukan teknologi dan kemampuan manufaktur yang lebih
canggih, yang tidak mudah untuk direplikasi dalam waktu singkat.
Sebuah studi oleh Johnson & Van Biesebroeck (2018)
menjelaskan bahwa ketergantungan pada impor untuk komponen-komponen inti
seringkali tak terelakkan, bahkan di negara-negara berkembang yang memiliki
ambisi tinggi untuk mengembangkan industri otomotif domestik, termasuk
Indonesia. Mengapa demikian? Mesin, misalnya, memerlukan pabrik dengan presisi
tinggi dan fasilitas yang sangat maju, sementara sasis dan suspensi masih
sering kali mengandalkan komponen dari negara-negara dengan kapasitas
manufaktur khusus.
Bahkan jika kita melihat ke dalam klaim 70% tersebut, bisa
jadi angka itu mencakup komponen-komponen seperti kaca spion, pegangan pintu,
atau velg—komponen-komponen yang lebih mudah diproduksi di dalam negeri. Hal
ini mengingatkan kita bahwa seringkali "the devil is in the details"
(setan ada dalam rincian), di mana kita harus lebih hati-hati dalam menilai
sejauh mana komponen lokal itu sesungguhnya mencakup bagian penting dari
kendaraan.
20% Komponen yang
Menentukan 80% Kualitas Kendaraan
Dalam dunia otomotif, banyak ahli yang mengacu pada prinsip
Pareto yang menyatakan bahwa 20% komponen utama kendaraan (seperti mesin dan
transmisi) dapat mempengaruhi 80% dari performa keseluruhan mobil. Oleh karena
itu, meskipun memiliki bodi atau interior yang sepenuhnya diproduksi di dalam
negeri, yang lebih penting adalah apakah kendaraan tersebut memiliki mesin dan transmisi
yang juga dibuat di Indonesia.
Memiliki mesin yang made in Indonesia tentu akan menjadi
pencapaian besar dalam mendukung narasi kemandirian teknologi. Namun,
berdasarkan penelitian oleh Raturi & Evans (2020), untuk memproduksi mesin
dengan komponen sepenuhnya lokal, diperlukan investasi besar dalam riset dan
teknologi manufaktur, sesuatu yang tidak dapat tercapai dalam waktu singkat.
Bahkan, masih banyak negara yang mengimpor komponen mesin, meskipun mereka
sudah memiliki industri otomotif yang maju.
Indonesia, pada kenyataannya, masih sangat bergantung pada
impor untuk beberapa komponen vital seperti mikrochip, sensor, dan software
kontrol mesin, yang semuanya merupakan bagian yang sangat penting dalam
kendaraan modern. Tanpa komponen-komponen ini, klaim 70% kandungan lokal bisa
jadi menjadi ilusif, karena esensi dari kendaraan modern justru terletak pada
komponen elektronik dan digital ini.
Tantangan
Kemandirian Digital dalam Industri Otomotif
Di era kendaraan modern, sistem elektronik bukan hanya
merupakan aksesoris tambahan, tetapi sudah menjadi bagian inti dari kinerja dan
keamanan mobil. Dari sistem navigasi hingga kontrol mesin, komponen-komponen
ini membutuhkan chip, modul kontrol, dan sensor canggih, yang sayangnya,
sebagian besar masih harus diimpor. Pindad, meskipun sudah berusaha untuk
menambah kandungan lokal pada bagian bodi dan rangka, kemungkinan besar belum
dapat sepenuhnya memproduksi komponen elektronik seperti sistem pengapian, modul
kontrol, atau chip yang digunakan dalam mobil Maung.
Dalam laporan dari PwC (2021), disebutkan bahwa untuk
memproduksi chip secara lokal, Indonesia memerlukan sebuah ekosistem
industri mikroelektronik yang matang, yang mencakup penelitian dan pengembangan
teknologi canggih hingga manufaktur dengan presisi tinggi. Saat ini, Indonesia
belum memiliki kapasitas tersebut, yang menyebabkan banyak komponen elektronik
dalam kendaraan masih bergantung pada impor.
Menggunakan Klaim
Lokal sebagai Strategi Branding
Klaim kandungan lokal ini sering kali digunakan dalam
strategi branding untuk meningkatkan nilai jual produk, baik untuk konsumen
domestik maupun di pasar internasional. Dalam banyak kasus, kandungan lokal
bisa menjadi simbol kualitas, kebanggaan nasional, dan keberhasilan ekonomi. Di
banyak negara, pemerintah juga turut memainkan peran besar dalam mengarahkan
industri ke arah kemandirian, dengan menyediakan kebijakan yang mendukung riset
dan inovasi serta proteksi untuk industri lokal.
Namun, tanpa adanya transparansi mengenai komponen inti yang
digunakan, klaim ini bisa jadi menyesatkan dan merugikan konsumen. Sebagai
contoh, Toyota di Jepang dan Tata Motors di India terkenal dengan pendekatan
mereka yang transparan mengenai mana saja komponen yang benar-benar dibuat
secara lokal, dan mana yang masih bergantung pada impor. Pendekatan ini tidak
hanya memberikan kejelasan, tetapi juga membangun kepercayaan konsumen.
Indonesia, melalui mobil Maung, bisa belajar dari contoh ini
dan mempertimbangkan untuk mengadopsi model yang serupa, di mana mereka tidak
hanya menyebutkan angka kandungan lokal, tetapi juga memberikan rincian tentang
komponen mana saja yang sepenuhnya diproduksi dalam negeri dan mana yang masih
mengandalkan impor.
Langkah-Langkah
Menuju Kemandirian Teknologi Otomotif
Untuk mencapai kemandirian penuh dalam industri otomotif,
Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis yang lebih jauh dari
sekadar klaim kandungan lokal. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:
1. Investasi dalam Riset Mesin: Mesin adalah komponen inti
kendaraan. Jika Indonesia masih mengandalkan impor untuk memproduksi mesin,
maka klaim kandungan lokal tidak akan cukup kuat. Pemerintah dan PT Pindad
perlu mengalokasikan dana untuk membangun fasilitas riset mesin yang mumpuni.
2. Kerja Sama dengan Perguruan Tinggi: Universitas dan
lembaga riset dapat berperan besar dalam mengembangkan teknologi otomotif
lokal. Kerja sama antara industri dan perguruan tinggi akan mempercepat proses
pengembangan teknologi otomotif domestik.
3. Perkuat Industri Mikroelektronik: Dengan berkembangnya
industri mikroelektronik, Indonesia akan lebih mandiri dalam memproduksi chip
dan modul kontrol yang digunakan dalam kendaraan. Investasi dalam sektor ini
akan mengurangi ketergantungan pada impor.
4. Transparansi dan Sertifikasi Lokal: Memberikan informasi
yang lebih jelas tentang komponen yang sepenuhnya lokal akan meningkatkan kepercayaan
konsumen dan memperkuat kredibilitas klaim kandungan lokal.
Klaim 70% kandungan lokal pada mobil Maung membawa harapan
dan kebanggaan bagi Indonesia. Namun, jika Indonesia benar-benar ingin mencapai
kemandirian teknologi di bidang otomotif, langkah-langkah konkret dalam
pengembangan teknologi inti, riset jangka panjang, dan peningkatan kapasitas
manufaktur harus dilakukan. Dengan berani menciptakan masa depan yang lebih
mandiri, Indonesia bisa mencapai kemandirian yang sejati dalam industri
otomotif. Seperti yang dikatakan oleh Peter Drucker, "The best way
to predict the future is to create it."
Komentar
Posting Komentar